Syahril Johan Identik Calo Perkara
Jakarta -"kba.GALAKnews"
Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Susno Duadji menuding mantan Wakapolri Makbul Padmanegara memiliki saham di PT Salma Arowana Lestari (SAL).
Di sisi lain, Susno juga menyebut bahwa Syahril Johan seorang calo perkara.
Hal ini dikemukakan Susno di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (10/2), terkait dengan kasus korupsi PT SAL. Susno mengaku, keterangannya tersebut merujuk pada pengakuan Sjahril yang menyebutkan Makbul memiliki saham di PT SAL. “Dia (Sjahril Johan) mengatakan sebagian saham itu adalah saham Pak Makbul Padmanegara,” ungkap Susno.
Susno juga mengungkapkan bahwa dirinya pernah didesak Sjahril dengan “tameng” atas perintah Makbul agar memberi perhatian khusus dalam penanganan kasus PT SAL tersebut. Ia selanjutnya mengonfirmasikan hal tersebut kepada Makbul dan dibenarkan. “Saya tanya Pak Makbul dn dibenarkan mendapat atensi dari beliau,” imbuhnya. Terkait dengan hal itu, beberapa waktu lalu PT SAL memang pernah membantah ihwal kepemilikan saham Makbul di perusahaan penangkaran ikan arwana tersebut.
Di samping itu, Susno juga menyebut Sjahril sebagai makelar perkara. Namun ia mengakui dirinya tidak mampu berbuat banyak mengingat kedekatan Sjahril dengan Makbul. Menurut Susno, tudingan itu didasarkan pada sejumlah alasan. Sjahril pernah mengaku sebagai teman Mr Ho yang merupakan investor PT SAL. Alasan lain adalah keberadaan saham Makbul di Arwana.
Pernyataan susno ini kemudian sempat dipertegas oleh Hakim Charis Mardiyanto dengan bertanya sejauh mana sepak terjang Syahril. “Apakah yang bersangkutan seorang makelar kasus?” tanya hakim. Susno pun menjawab singkat, “Ya, siap,” katanya.sumber sinar harapan on line(rafael sebayang)-//kba.ajiinews//galaknews//ganas//
Jumat, 11 Februari 2011
Pemerintah Diminta Bekukan Ormas Penebar Kebencian
Oranisasi Dapat Dibekekukan Jika Salah Aturan
Jakarta -"kba.GALAKnews"
Pemerintah tidak perlu takut untuk membekukan organisasi kemasyarakatan (ormas).
Namun, pembekuan itu harus dilakukan terhadap ormas yang terbukti menebar rasa kebencian yang diikuti dengan tindak kekerasan yang berulang.
Hal tersebut dikemukakan Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al Araf, di Jakarta, Jumat (11/2). Menurutnya, organisasi dapat dibekukan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undangan. Meski demikian, ia mengingatkan, pembekuan tidak ditujukan kepada organisasi yang melakukan kritik terhadap pemerintah.
“Apabila terbukti oleh pemerintah terdapat ormas yang menyebarkan rasa kebencian maka pemerintah dapat mengajukan gugatan mekanisme pengadilan,” katanya. Pembekuan, lanjut Al Araf, juga harus mendasarkan pada prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.
Pemerintah juga harus menciptakan terobosan hukum untuk membekukan suatu organisasi. Pasalnya, UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas sebagai dasar pembekuan sudah tidak lagi digunakan sejak reformasi. Selain itu, penggunaan UU Ormas dikhawatirkan akan menjadi ruang baru bagi pemerintah untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
Sementara itu, Ketua Institute, Hendardi mengatakan, penegakan hukum dan penguatan institusi kepolisian adalah kunci penghapusan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama. Berbagai kekerasan dan fakta pelanggaran atas nama agama selama ini bukan sekadar terkait dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal Ahmadiyah, Peraturan Bersama Menteri tentang Rumah Ibadah, konflik pendirian rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama.
“Yang paling nyata adalah adanya organisasi-organisasi garis keras pengusung aspirasi intoleran yang menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan gagasannya. Organisasi Islam pengusung aspirasi intoleran telah secara efektif memanfaatkan kondisi masyarakat yang rentan provokasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan,” katanya.
Selain itu, kata Hendardi, berbagai kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi yang terjadi tidak pernah mendapat perhatian dari institusi Polri. Hanya dalam beberapa kasus kepolisian memproses secara hukum kekerasan semacam ini.
“Kapolri tidak boleh ragu mengambil tindakan tegas terhadap pejabat-pejabat kepolisian di semua tingkatan yang nyata-nyata lalai dan membiarkan kekerasan itu terjadi, termasuk membebastugaskan para petinggi Polri yang terlibat dalam aksi pembiaran,” katanya, seusai bertemu Kepala Polri bersama sejumlah aktivis HAM kemarin.
Padahal, menurut Hendardi, tindakan kriminal dan kekerasan yang memiliki pola, modus, spirit, dan sasaran yang sama sudah cukup jelas, bahwa organisasi-organisasi tertentu selalu berada di garda depan berbagai aksi perusakan. “Pembiaran terhadap kelompok-kelompok ini telah melahirkan preseden buruk bagi kasus-kasus serupa yang terus bermunculan dan di berbagai tempat. Pembiaran juga telah semakin menebalkan impunitas terhadap pelaku kekerasan dan akan terus menerus melakukan aksinya,” ujarnya.sumber sinar harapan (cr-13)-//kba.ajiinews//galaknews//ganas//
Jakarta -"kba.GALAKnews"
Pemerintah tidak perlu takut untuk membekukan organisasi kemasyarakatan (ormas).
Namun, pembekuan itu harus dilakukan terhadap ormas yang terbukti menebar rasa kebencian yang diikuti dengan tindak kekerasan yang berulang.
Hal tersebut dikemukakan Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al Araf, di Jakarta, Jumat (11/2). Menurutnya, organisasi dapat dibekukan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undangan. Meski demikian, ia mengingatkan, pembekuan tidak ditujukan kepada organisasi yang melakukan kritik terhadap pemerintah.
“Apabila terbukti oleh pemerintah terdapat ormas yang menyebarkan rasa kebencian maka pemerintah dapat mengajukan gugatan mekanisme pengadilan,” katanya. Pembekuan, lanjut Al Araf, juga harus mendasarkan pada prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.
Pemerintah juga harus menciptakan terobosan hukum untuk membekukan suatu organisasi. Pasalnya, UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas sebagai dasar pembekuan sudah tidak lagi digunakan sejak reformasi. Selain itu, penggunaan UU Ormas dikhawatirkan akan menjadi ruang baru bagi pemerintah untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
Sementara itu, Ketua Institute, Hendardi mengatakan, penegakan hukum dan penguatan institusi kepolisian adalah kunci penghapusan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama. Berbagai kekerasan dan fakta pelanggaran atas nama agama selama ini bukan sekadar terkait dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal Ahmadiyah, Peraturan Bersama Menteri tentang Rumah Ibadah, konflik pendirian rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama.
“Yang paling nyata adalah adanya organisasi-organisasi garis keras pengusung aspirasi intoleran yang menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan gagasannya. Organisasi Islam pengusung aspirasi intoleran telah secara efektif memanfaatkan kondisi masyarakat yang rentan provokasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan,” katanya.
Selain itu, kata Hendardi, berbagai kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi yang terjadi tidak pernah mendapat perhatian dari institusi Polri. Hanya dalam beberapa kasus kepolisian memproses secara hukum kekerasan semacam ini.
“Kapolri tidak boleh ragu mengambil tindakan tegas terhadap pejabat-pejabat kepolisian di semua tingkatan yang nyata-nyata lalai dan membiarkan kekerasan itu terjadi, termasuk membebastugaskan para petinggi Polri yang terlibat dalam aksi pembiaran,” katanya, seusai bertemu Kepala Polri bersama sejumlah aktivis HAM kemarin.
Padahal, menurut Hendardi, tindakan kriminal dan kekerasan yang memiliki pola, modus, spirit, dan sasaran yang sama sudah cukup jelas, bahwa organisasi-organisasi tertentu selalu berada di garda depan berbagai aksi perusakan. “Pembiaran terhadap kelompok-kelompok ini telah melahirkan preseden buruk bagi kasus-kasus serupa yang terus bermunculan dan di berbagai tempat. Pembiaran juga telah semakin menebalkan impunitas terhadap pelaku kekerasan dan akan terus menerus melakukan aksinya,” ujarnya.sumber sinar harapan (cr-13)-//kba.ajiinews//galaknews//ganas//
Langganan:
Postingan (Atom)