Pemerintah Biarkan Manuver Daerah Terjadi Konplik
OLEH: TUTUT HERLINA/ LILI SUNARDI
Jakarta –"GALAKnews"
Saat ini semakin banyak daerah yang mengeluarkan aturan larangan aktivitas jemaah Ahmadiyah. Bentuknya bermacam-macam, dari Surat Keputusan Bersama (SKB) dan peraturan bupati/wali kota, hingga peraturan daerah.
Ketegasan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk menghentikan manuver di tingkat daerah ini. “Jemaah Ahmadiyah punya hak untuk melaksanakan keyakinannya,” ujar anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Said Abdullah, kepada SH, Selasa (1/3).
Menurutnya, jika pemerintah membiarkan manuver daerah ini terus terjadi, pemerintah dengan sengaja melanggar konstitusi, terutama terhadap Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Indonesia merupakan negara yang berdasar hukum, bukan berdasarkan agama apa pun. Selain itu, Pasal 28d Ayat 1 menyebutkan, setiap orang sama kedudukannya di depan hukum. Pemerintah juga melanggar kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, khususnya Pasal 18 Ayat 2.
Said mengharapkan Ahmadiyah tidak dijadikan tumbal kegagalan pemerintah di bidang ekonomi dan penegakan hukum.
Dalam catatan SH, hingga saat ini, ada empat pemerintah provinsi dan tujuh kabupaten yang terang-terangan mengeluarkan aturan larangan aktivitas Ahmadiyah. Jawa Timur adalah provnisi terbaru yang mengeluarkan larangan ini.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo bahkan melempar tanggung jawab ke pusat soal pembubaran Ahmadiyah. “Untuk membubarkan Ahmadiyah bukanlah ranah kepala daerah. Itu kewenangan pusat. Karena itu, SK ini merupakan upaya maksimal yang bisa dilakukan oleh kepala daerah,” ungkapnya di Surabaya, kemarin.
Dengan alasan menjaga ketertiban, SK Gubernur Jatim tersebut melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun media elektronik. Melarang pemasangan papan nama organisasi jemaah Ahmadiyah di tempat umum. Melarang pemasangan papan nama pada masjid, musola, lembaga pendidikan, dan lain-lain dengan identitas jemaah Ahmadiyah Indonesia, serta melarang penggunaan atribut jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam segala bentuknya.
Dalam waktu dekat, Pemprov Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan juga akan mengeluarkan kebijakan serupa. Dengan begitu, produk hukum daerah yang diskriminatif tersebut melengkapi 154 kebijakan diskriminatif lainnya.
Juru bicara Ahmadiyah Firdaus Mubarik mengatakan pihaknya pernah meminta pembatalan SKB larangan Ahmadiyah Kota Bogor yang dikeluarkan tahun 2005 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, oleh pengadilan, permintaan tersebut ditolak karena PTUN tidak berwenang mengadili. Surat tersebut dibuat bersama-sama pihak ketiga, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebenarnya tidak memiliki kedudukan hukum dalam pembuatan UU.
“PTUN tidak berhak mengadili karena aturan itu tidak dalam susunan hukum di Indonesia. Secara administrasi, peraturan yang dibuat pemda tersebut bermasalah. Sayangnya, itu tidak pernah dicabut Kementerian Dalam Negeri,” katanya.
Ia menambahkan, peraturan tersebut sering kali digunakan masyarakat untuk melakukan intimidasi terhadap jemaah Ahmadiyah. “Secara de facto, peraturan yang terbit digunakan oleh masyarakat untuk menyebarkan ketakutan,” imbuhnya.
Kontraproduktif
Peneliti Setara Institute Ismail Hasani menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menegur Mendagri Gamawan Fauzi, karena telah mempersilakan daerah mengeluarkan regulasi diskriminatif terkait pelarangan Ahmadiyah, sementara belum ada solusi permanen untuk persoalan Ahmadiyah dari pemerintah pusat.
Menurutnya, penerbitan produk hukum diskriminatif tersebut merupakan bentuk penyederhanaan penanganan terhadap persoalan Ahmadiyah. “Produk hukum yang terkait larangan aktivitas Ahmadiyah merupakan langkah kontra produktif di tengah upaya Presiden RI, DPR RI dan seruan berbagai pihak yang mendorong adanya jalan keluar komprehensif atas Ahmadiyah dan jaminan kebebasan beragama serta berkeyakinan,” jelasnya.
Menurutnya, penerbitan kebijakan diskriminatif juga merupakan bentuk reviktimisasi terhadap Ahmadiyah. Padahal, kekerasan di Cikeusik dan Temanggung bukan semata isu sesat dan tidak sesat dan bukan hanya isu penodaan agama, tetapi juga adanya fakta tumbuh suburnya organisasi radikal yang gemar melakukan kekerasan.
Secara terpisah, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya akan melihat perda dan rancangan perda provinsi terkait Ahmadiyah secara kasus per kasus, karena bisa saja isinya berbeda di setiap daerah. Menurutnya, ada mekanisme koreksi terhadap perda yang dikeluarkan, sehingga nantinya dapat dibatalkan jika dianggap bertentangan dengan SKB tiga menteri.
Dia juga menjelaskan, jika perda terkait Ahmadiyah tersebut bertujuan menguatkan SKB, hal tersebut merupakan hal yang bagus. “Dalam SKB kan perlu ada penegasan untuk pengawasan, pembinaan. Nah, kalau dalam kerangka itu kan bagus. Tapi prinsipnya jangan sampai melarang keberadaan Ahmadiyah,” ujarnya.
Sementara itu, hari ini, ribuan massa Front Pembela Islam kembali turun jalan menuntut pemerintah mengeluarkan keppres pelarangan ajaran Ahmadiyah. Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) FPI DKI Jakarta, Habib Salim Alatas, mengatakan, penolakan Ahmadiyah murni merupakan demo umat Islam tanpa terkait politisasi.
Massa FPI menggelar aksi di Bundaran HI, sebelum kemudian melanjutkan unjuk rasa di depan Istana Presiden. Selain SBY yang dituntut membikin keppres, FPI juga meminta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan keputusan larangan Ahmadiyah di wilayah Jakarta.
Dari Jabar, MUI bersuara keras, menuding pemerintah tak berani membubarkan Ahmadiyah.
“Tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah lain, jika pemerintah SBY tidak bisa dengan tegas membubarkan Ahmadiyah, melalui keputusan pengadilan. Yang berhak membubarkan Ahmadiyah bukan MUI atau masyarakat Islam, namun pemerintah yang berwenang. Kami mendesak harus ada keberanian pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah,” katanya.sinar harapan (inno jemabut/chusnun hadi/saufat endrawan/bachtiar)//kba.ajiinews//galaknews//
Kembali ke : Home
Tidak ada komentar:
Posting Komentar