Rabu, 17 Agustus 2011

HUT RI 66 TAHUN ...MERDEKA ATAU KORUPSI


Merdeka dari Korupsi

Penulis : Fadly Rahman*



Adakah kaitan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan Indonesia? Keduanya memang hidup dan dipisahkan jarak masa yang jauh dengan kondisi zaman berbeda. Meski begitu, keduanya punya kesamaan dalam menghadapi masalah: korupsi.

VOC adalah maskapai dagang besar kompeni Belanda yang riwayatnya sudah berakhir dua abad silam karena aib-aib korupsi yang dihadapinya. Sementara Indonesia adalah eks koloni VOC, yang saat ini segala aib korupsi terbuka satu demi satu di negara beralam “merdeka” ini.

Meski dikatakan sama “menghadapi” masalah korupsi, konteks yang dihadapi keduanya berbeda. VOC berakhir riwayatnya pada 1799. Sebagaimana dikutip CR Boxer dalam Jan Compagnie (1979), nama maskapai dagang Hindia Timur itu pada masa-masa pembubarannya dipelintirkan secara jenaka oleh kritikus masa itu dengan sebutan V(ergaan) O(nder) C(oruptie): runtuh lantaran korupsi.

Maskapai besar yang berdiri pada 1602 itu mesti berakhir riwayatnya dengan menanggung utang besar, akibat mengguritanya praktik penyuapan, korupsi, patronase, hingga main pengaruh di kalangan pejabat serta aparaturnya. Tampaknya, sebab semua itu adalah hak istimewa (octrooi) yang dimiliki VOC.

Disebut octrooi karena maskapai ini memiliki keleluasaan meliputi tugasnya sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia, memonopoli niaga, mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri, memungut pajak, mengendalikan hukum, memaklumkan perang dengan negara lain, mengadakan traktat, mempunyai perangkat militer sendiri, hingga mengadakan pemerintahan sendiri.

Semua itu dilakoni VOC. Wajar, meski bertanggung jawab terhadap Kerajaan Belanda melalui Heren XVII sebagai dewan pengelolanya, maskapai ini bak negara dalam negara.

Bermula setelah pangkalan niaga utama mereka didirikan di Batavia pada 1619 oleh Gubernur Jendral JP Coen, kedudukannya semakin kuat menguasai niaga rempah-rempah di Nusantara. Maskapai ini juga mendekati dan mengintervensi kerajaan seperti di Maluku, Makassar, Mataram, Banten, Banjar, dan Sumatera.

Niaga adalah tujuan mula-mula. Namun dalam perkembangannya, setelah melalui pendekatan dengan penguasa-penguasa di Nusantara itu, VOC mulai mengakses sendi-sendi politik kerajaan.

Melalui serangkaian politik devide et impera, para pejabat VOC menjadi lebih leluasa menjalin hubungan dan mengatur penguasa lokal (raja dan bupati) agar mengikuti hasrat kolonialisme mereka. Tentu saja, ini membentuk suatu alam baru bagi para penguasa lokal yang hidup dalam jejaring kolonialisme.

Strategi politik yang tampak diterapkan pada masa abad ke-18 adalah indirect rule system; suatu pemerintahan tidak langsung yang mana VOC memanfaatkan budaya politik feodal dalam tubuh masyarakat pribumi.

Melalui pemanfaatan alam feodal ini, VOC dapat dengan leluasa mengawasi, mencampuri urusan, hingga memanfaatkan kedudukan raja dan bupati untuk kepentingan ekonomi serta politik kolonialnya. Kedudukan penguasa lokal jadinya tak lebih sebagai abdi VOC saja. Yang dirugikan dari sistem ini adalah rakyat.

Sebagai abdi VOC, bupati mengerahkan tenaga rakyat untuk bekerja di perkebunan milik kompeni. Aparatur seperti bupati, kepala desa, dan pegawai Belanda yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan diberi perangsang berupa culture procenten, yaitu bonus hasil penyetoran tanaman di samping pendapatan yang mereka terima dari VOC.

Pengaruh Politik Kolonial

Terang saja, bersatunya kolonialisme dengan budaya politik feodal memunculkan warna makin buramnya kondisi politik di Nusantara. Hingga abad ke-19 selepas runtuhnya VOC, pengaruh politik kolonial terus merembes dalam lapisan kehidupan masyarakat. Wibawa penguasa lokal sebagai rekan pemerintah kolonial pun jatuh di mata rakyat.

Bagaimana tidak? Kedudukan sebagai penguasa yang semestinya menjadi patron, nyatanya menjadi pemeras tenaga rakyat; belum lagi praktik pemotongan upah dan penggelapan laporan pajak hasil bumi yang dilakukannya. Imbasnya bagi rakyat, seperti dilaporkan Baron van Hoevell, seorang tokoh liberal yang melakukan pengamatan di Pulau Jawa pada 1847, adalah kemiskinan dan kemelaratan.

Keadaan itu merupakan akibat cara-cara menjalankan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang mendatangkan kesengsaraan. Rakyat harus menyerahkan lebih banyak hasil buminya kepada pemerintah daripada yang diwajibkan secara resmi.

Didorong oleh persentase hasil-hasil tanaman yang menggiurkan itu, aparatur pemerintah pribumi dan Eropa mengeruk hasil bumi dari rakyat lebih banyak daripada yang menjadi haknya.

Skandal pemerasan dan korupsi oleh aparatur pribumi dikisahkan Douwes Dekker ketika ia menjabat sebagai asisten residen Lebak (Banten) pada 1856.

Dalam Max Havelaar, karya Dekker yang mengguncang pemerintah jajahan dan ditulis berlandaskan pengalaman nyatanya sebagai asisten residen itu, dikisahkan tindakan pemerasan dan penindasan rakyat jelata oleh bupati Lebak. Sebagai bentuk protesnya dan atas nama kemanusiaan, Dekker mengajukan permintaan berhenti dari jabatannya.

Dekker yang dijuluki oleh sastrawan E Du Perron sebagai ”de man van Lebak”, sang pahlawan Lebak itu, menjadi cermin membaca mentalitas birokratis yang absolut menubuh dan berkelindan dalam kehidupan masa itu.

Bahkan, ketika birokrasi pemerintahan di Hindia berusaha dibenahi menjadi lebih legal rasional melalui pembebasan tugas bupati sebagai pemungut pajak, mereka menjadi merasa kehilangan fungsi pentingnya memperoleh keuntungan besar. Kondisi ini persis yang dibilang Lord Acton: “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Pada 2002, di negeri Belanda diadakan peringatan 400 tahun VOC. Komemorasi itu menghidupkan atas citra praktik dan skandal korupsi, penyuapan, pemerasan, patronase, cari pengaruh yang sudah hidup pada masa jaya maskapai itu; dan menjadi pantulan atas kondisi sekarang.

Ini soal mentalitas dan moral macam masa VOC yang seakan menubuh juga hingga kini. Hanya bedanya sekarang, rakyat bukan lagi komunitas manut yang bisa dibodohi; mereka menuntut korupsi diberantas.

Tidak cukup itu, mentalitas dan moral korup sebagai akarnya mesti diputus dan dipupus. Rakyat, kita, tidak ingin Indonesia ini menjadi: V(ergaan) O(nder) C(oruptie) alias runtuh lantaran korupsi, seperti halnya VOC, bukan?

*Penulis adalah pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar